5 Alasan Pramoedya Ananta Toer Belum Ada Tandingannya di Antara Semua Penulis Tanah Air
“Kalau untuk saya, silakan kerjakan apa yang dimaui. Tapi, tanggungjawab pada perbuatan sendiri. cuma itu pesan saya. Bahkan jadi bandit pun silakan. Tapi tanggungjawab atas perbuatan sendiri. Jangan nyorong pada orang lain untuk tanggungjawab.” – Pramoedya Ananta Toer dalam wawancara terakhirnya di edisi perdana majalah Playboy (2006)Karang yang mengeras terhantam ombak adalah personanya. Tanpa ampun dalam bersikap, menolak kompromi, dan bernafas dengan idealisme yang tak kunjung terkelupas. Hal terakhir yang rela dilakukannya adalah merangkak-rangkak di depan siapapun.
Lahir di Blora, 6 Februari 1925, nama sebenarnya adalah Pramoedya Ananta Mastoer. Namun, dengan watak yang ia punya, tak aneh lagi jika Pram sengaja menanggalkan imbuhan ‘mas’ dari nama panjangnya karena merasa terlalu feodal dan kebangsawan-bangsawanan. Sedari novel perdananya yang populer, Perburuan hingga Tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca dan rentetan karya dahsyat selanjutnya, nama Pram melanglang menembus ranah sastra mancanegara. Ia banyak menulis–baik fiksi maupun non fiksi– perihal sejarah dan politik, terutama terkait cita-cita revolusi gagasan-gagasan progresif dan kritik sengit terhadap negara, pemerintah, agama, situasi sosial, dan lain-lain. Baginya sastra bukan sekadar seni dan kanal artistik, melainkan senjata menciptakan perubahan sosial.
Naga-naganya pun memang tak ada sastrawan negeri yang lebih kontroversial dari sosok Pram. Ia punya banyak musuh. Bersama Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat), Pram begitu berapi bertempur atau adu buah pikir dengan sesama seniman dan sastrawan yang berseberangan dengannya di era pemerintahan Bung Karno. Baik lewat lisan maupun teks, ia berseteru tiada lelah. Dan hingga kubu dan kawan-kawannya roboh terbantai militer dan dominasi politik, ia masih berdiri kokoh. Seakan tertinggal sendirian. Dikepung oleh lawan-lawannya yang memenangkan zaman, Pram tetap bergeming. Menolak takluk. Seolah antagonis terakhir yang alot sekali ditumbangkan, Pram masih merajalela selama beberapa dekade dalam kesendiriannya, bahkan pasca ia berkalang tanah di usia ke-81 pada 2006 silam.
Atas nama besarnya di jagat kesusastraan dan intelektual, Google merayakan ulang tahun Pram yang ke-92 dengan menampilkan ilustrasi ikoniknya bersama sebuah mesin tik di Google Doodle pada Senin (6/2) kemarin. Apresiasi berskala internasional ini hanya satu bagian dari penghormatan publik terhadap sepak terjangnya yang belum tertandingi oleh penulis manapun di Indonesia. Ada banyak penulis atau sastrawan kita yang sanggup mencetak karya-karya laris dan mahsyur, namun inilah 5 alasan kenapa Pram masih saja belum bisa ditumbangkan.
1. Reputasinya di kancah internasional belum terkalahkan. Pram adalah sastrawan Indonesia yang nama dan karyanya tersiar paling luas
Pustaka
2. Bukan cuma bertabur penghargaan, tapi juga perhatian dalam bentuk kajian atau amatan kritis
Pram via pembebasan.org
3. Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan yang selalu mengangkat Indonesia sebagai sebuah bangsa pada karya-karyanya
Lekra
4. Sosok yang karyanya tidak berpengaruh sedemikian besar pasti tidak akan sampai ditangkap dan diasingkan puluhan tahun
Jika kamu pernah mendengar cerita-cerita tentang fenomena penulis yang menciptakan tulisan di penjara, maka Pram adalah salah satu contoh terbaiknya. Ia berulang kali mengenyam jeruji besi. Selain dipenjara di Belanda (3 tahun), ia juga pernah dijebloskan di bui pada masa Orde Lama (1 tahun), dan lalu 14 tahun di Orde Baru (ditahan tanpa proses pengadilan sebagai tahanan politik di Pulau Nusakambangan pada 1965-1969 dan Pulau Buru pada 1969-1979), juga sebulan di Magelang. Di fase Pulau Buru itulah ia menghasilkan adikaryanya, tetralogi Pulau Buru.Bagaimana seperempat usianya dihabiskan sebagai tahanan politik disebabkan karena pilihan-pilihannya memposisikan diri dalam kubu yang selalu melawan pihak yang berkuasa. Masalahnya, sampai kini pun Pram punya dampak terhadap lingkungannya. Pengaruhnya bukan cuma di lingkup sastra, melainkan bidang lain seperti politik, intelektualitas, dan aktivisme. Terkait kegemarannya menulis fiksi dengan pondasi tema sejarah, ada beberapa tokoh sejarah yang mendapat level sorotan berbeda semenjak disentuh oleh karya-karya Pram, misalnya Tirto Adhi Soerjo atau R.A Kartini pada Panggil Aku Kartini Saja.
5. Melengkapi riwayatnya dengan mahakarya atau magnum epos: Bumi Manusia
Bumi Manusia via www.bintang.com
sumber: hipwee.com

Komentar
Posting Komentar